Peter A. Rohi, Wartawan di Pusaran Konflik

Oleh: Zed Abidien

PETER A. ROHI adalah sedikit dari wartawan yang biasa hidup mengelana dalam artian sesungguhnya. Mengelana untuk membuat laporan eksklusif dari satu tempat ke tempat lain, maupun mengelana menjadi watawan dari media satu ke media lain.

Dalam melakukan liputan, Peter lebih memilih liputan jenis pengamatan dan penggalian masalah di lapangan, bukan pernyataan (statement). Ia juga menggali masalah ke suatu tempat dan secara rinci merekam kejadian tersebut sehingga membuahkan laporan yang menarik. “Berita yang baik, kalau dia menjadi perhatian dan memunculkan fakta baru di masyarakat,” kata Peter kepada saya dalam sebuah wawancara Agustus lalu.

Peter misalnya, saat menjadi wartawan freelance tahun 1990 pernah meliput untuk Jawa Pos tentang orang Jepang sisa Perang Dunia II yang hidup di hutan Morotai, sebuah pulau di wilayah kepulauan Maluku Utara. Masih dalam wilayah yang sama, Peter pernah membuat penemuan laporan meriam kuno peninggalan Babar di Maluku Tenggara.

Dalam laporan itu Peter menyebutkan, meriam tersebut peninggalan sebuah kapal Inggris yang terdampar di Babar. Kapal bernama Lady Nelson itu bersandar di pulau tersebut untuk transit sebelum menuju Australia. Pada saat transit itu ada awak kapal (ABK) Lady Nelson melakukan hubungan dengan wanita setempat. Karena marah, kapal tersebut dibakar penduduk dan semua penumpangnya tewas kecuali dua penumpang yang melarikan diri (satu di antaranya nak- anak).

Akibat pemberitaan ini, Peter sempat dikirimi buku dari Australia yang memuat tentang ekspedisi kapal Lady Nelson. Menurut Peter, kapal tersebut adalah sebuah ekspedisi penting karena memuat sejumlah tenaga ahli, seperti dokter dari Inggris. Dari laporan kapal Lady Nelson itu juga terungkap, pada masa lalu, pemerintah Australia sangat tergantung kepada Indonesia. Pulau-pulau kecil di wilayah kepulauan Maluku Tenggara (dekat pulau Timor –dalam wilayah NTT dan Timor Leste) amat membantu kapal-kapal Australia dan Inggris.

Sebelum ke Australia, kapal-kapal dari Inggris biasanya singgah di pulau tersebut. Laporan Peter tentang bangkai kapal Lady Nelson itu dipublikasihkan di harian Sinar Harapan (SH) dan tabloid Mutiara. Masih di pulau Babar, Peter juga membuat laporan tentang pembantaian masal yang dilakukan tentara Jepang terhadap penduduk setempat pada Perang Dunia II. Laporan itu kemudian menjadi ilham dan kemudian dikembangkan sejumlah media cetak di Jepang dan Amerika.

Jauh sebelum itu dari pulau Kisar, Maluku Tenggara, Peter juga pernah membuat laporan tentang profil seorang pecinta lingkungan yang mengelola seluruh pulau Kisar. Akibat laporan ini, pemerintahan memberikan penghargaan Kalpataru kepada penduduk Kisar.

Pada tahun 1978, saat awal bergabung dengan SH, ia juga membuat laporan tentang kelaparan massal di pulau Sumba. Saat itu penduduk satu kecamatan mengalami wabah kelaparan karena hama tikus yang menyerang padi mereka. Akibatnya sebagian penduduk mati dan dirawat dirumah sakit “Bantuan terlambat datang, karena lokasinya terpencil” kata Peter. Untuk mencapai lokasi tersebut peter harus naik kuda selama tiga hari.Akibat pemberitaan tersebut, Presiden Soeharto datang ke Sumba dengan membawa bantuan.

Jiwa petualangan sedikit banyak dipengaruhi lingkungan tempat ia dilahirkan. Peter lahir di Kupang, NTT, 1942. Profesi wartawan dijalaninya setelah setahun ia mengundurkan diri dari Korps Marinir dengan catatan fisik terbaik, yaitu dengan angka 90, “rata-rata fisikal tes marinir saat itu sekitar 80” kata Peter mengenang.

Peter sendiri tercatat sebagai anggota Marinir di Batalyon Amphibi, Karang Pilang, Surabaya. Tapi karena saat itu ada rasionalisasi Marinir, pada 1970 Peter memlih mengundurkan diri.

Pada saat dua tahun menunggu masa pensiun (MPP), Peter mendaftar ke Akademi Wartawan Surabaya (AWS) yang berkampus di Jalan Kapasari Surabaya. Ketika masa kuliah berjalan satu tahun, Peter bersama tiga kawannya salah satunya Anas Sadaruwan, melamar menjadi wartawan Sket Masa.”Saya melamar ke Sketmasa untuk menjajal keberanian,” katanya. Sketmasa adalah majalah berita mingguan kenamaan di Surabaya. Majalah yang dipimpin Suripto itu, konon tirasnya sempat mencapai puluhan ribu eksemplar.

Baru setahun bekerja, Peter memutuskan pindah sebagai koresponden SH. Sebuah koran terbesar kedua setelah Kompas. “Saya waktu itu diajak Amak Syarifuddin,” kata Peter.

Amak adalah wartawan Sketmasa yang pindah ke SH. Mungkin karena dianggap berhasil meliput sejumlah peristiwa besar, pada tahun 1980, oleh pengelola SH. Peter diberi kepercayaan mengelola Suara Indonesia (SI), sebuah koran pagi yang terbit di Malang.

Di harian ini, Peter sebagai redaktur pelaksana. Di tangan Peter, koran ini sempat menjadi koran terbesar di Jawa Timur dengan tiras 40 ribu eksemplar. Posisi koran ini menjadi koran kelas dua setelah harian Surabaya Post. Harian Jawa Pos sendiri saat itu hanya bertiras 6 ribu eksemplar. Saat mengelola SI, Peter digaji Rp 300 ribu per bulan. “Gaji sebesar itu sudah cukup untuk mebiayai keluarga” kata Peter.

Dari gajinya itu, Peter bisa membangun rumah sederhana di Surabaya. Di SI, Peter sempat dikirimi sebuah kepala manusia. Paket kepala manusia ini diduga dikirim oleh kelompok misterius yang menyokong pembunuhan misterius (petrus) terhadap sejumlah preman dan gali.

Tapi belakangan ini korban petrus bukan hanya gali, tapi juga warga sipil, seperti para guru. “Semua koresponden saya perintahkan membuat berita setiap korban petrus,” kata Peter. Akibatnya, hampir tiap hari, koran ini dihiasi berita korban kekerasan petrus. Belakangan, pemerintah mengakui mereka berada di balik operasi petrus.

Di SI, Peter hanya empat tahun dan tahun 1985 ia ditarik ke Surabaya sebagai koresponden. Konon, penarikan itu atas perintah Aristides Katoppo, pemimpin redaksi SH. Tetapi di Surabaya ia hanya beberapa bulan karena ditarik SH ke Jakarta menjadi asisten redaktur politik dan nasional sampai koran ini dibrendel pemerintah Soeharto tahun 1986.

Pada tahun 1988 pemilik dan wartawan SH mendirikan harian Suara Pembaharuan dan Peter ikut bergabung di koran ini. Tetapi ini hanya 8 bulan karena ia kemudian diserahi mengelola Jayakarta, sebuah koran milik Kodam Jaya yang dimodali Suara Pembaharuan. Sayang nasib koran ini hanya berumur pendek karena terus merugi.

Surabaya dan Jakarta adalah dua kota yang menjadi magnet bagi Peter. Surabaya, tempat tinggal keluarganya dan Jakarta dianggap kota yang bisa mewujudkan ide-idenya. Agustus lalu, ia masih mondar-mandir Surabaya-Jakarta untuk persiapan pendirian sebuah koran baru yang berbasis di Kerawang. “Kawan saya banyak tinggal di Jakarta,” kata Peter.

Setelah menganggur dari Jayakarta, Peter sempat bergabung dengan harian Surya sebagai news editor. Tidak lama kemudian pada 1990 mengundurkan diri dan menjadi wartawan freelance untuk berbagai penerbitan. Setelah gerah di Jakarta, pada 1993, Peter balik ke Surabaya menjadi wartawan freelance beberapa penerbitan seperti harian Surabaya Post, Surya, dan Jawa Pos.

Pada tahun 1994-1995, Peter dikontrak sebagai penulis kolom “Selamat Pagi Surabaya” harian Memorandum, milik Agil H Ali. Pada tahun 1996, oleh sejumlah kawan-kawannya di Dewan Kesenian Surabaya (DKS), tulisannya itu diterbitkan dalam bentuk buku. “Kabar yang saya terima, berkat kolom tersebut, tiras Memorandum mengalami kenaikan,” kata Peter. Tapi kontrak ini tak diperpanjang oleh Agil.

Ada dugaan “PHK” tersebut akibatnya tulisan Peter dinilai terlalu berani dan membuat gerah Gubernur Jawa Timur, H M. Basofi Sudirman yang waktu itu memberi angin Latief Pujosakti. Ketua PDI Jawa Timur versi Surjadi. Sedangkan tulisan Peter dianggap memberi angin Sucipto, Ketua PDI Jatim versi Megawati yang menjadi seteru Latief. “Saya tak membela siapa-siapa. Yang saya bela adalah yang lemah.” kata Peter. Saat itu, pihak yang disebut lemah adalah PDI kubu Megawati dan yang kuat adalah PDI kubu Surjadi.

Mei 1998, rezim Soeharto jatuh dan tampuk pemerintahan dipegang B.J. Habibie. Oleh rezim baru ini, kebebasan pers diperlonggar dan ijin pendirian koran dipermudah. Dengan semangat perubahan, Peter berangkat lagi ke Jakarta untuk ikut membidani sebuah koran harian baru bernama Suara Bangsa (SB). Harian ini didirikan dengan semangat untuk mengembalikan liputan besar, termasuk mengirim Peter A Rohi ke Timor Timur pada 1999 saat daerah pergolakan ini mengadakan jajak pendapat untuk menentukan pilihan otonomi (bergabung ke RI) atau merdeka.

Di Dili, saya sempat bertemu beberapa kali dengan Peter. Semangatnya luar biasa. Sebelum pengumuman hasil jajak pendapat, 4 september 1999, Peter sempat pulang ke Surabaya untuk menghadiri seminar soal Timtim di Universias Airlangga. Beberapa hari kemudian ia sudah tiba di Dili menumpang kapal laut. Padahal saat itu sebagian besar wartawan sudah meninggalkan Dili karena situasi politik yang mulai panas.

Saat itu muncul kabar, Kota Dili akan dibumi hanguskan oleh milisi pro-otonomi jika rakyat Timtim memilih merdeka. Saya dengan Peter dan sejumlah wartawan telah menyiapkan skenario penyelamatan jika pecah perang. Salah satunya adalah pulang jalan darat lewat Kupang dan balik lagi ke Dili jika sudah aman.

Tapi situasi kian tak menentu, skenario tersebut berubah saat kami bertemu di Hotel Mahkota, pagi hari 4 September, tempat diumumkan hasil jajak pendapat. “Semua wartawan di Media Center sudah pulang,” kata Peter kepada saya. Akhirnya kami sepakat berpisah. Peter memutuskan pulang setelah pengumuman dengan naik Hercules milik TNI AU yang kabarnya gratis untuk para pengungsi, termasuk wartawan.

Karena saya mengantongi tiket Merpati, saya memutuskan pulang naik pesawat reguler. Tapi cara ini gagal karena kursi pesawat sudah penuh oleh wartawan asing, pegawai, dan aktivis LSM.

Saya sendiri berhasil pulang setelah tertahan satu hari di bandara dengan naik pesawat Hercules milik TNI AU juga. Itupun saya harus mengeluarkan Rp. 600 ribu kepada aparat militer di Bandara Comoro. Dalam situasi kritis ternyata masih ada orang tega memeras sesamanya. Semua penumpang, termasuk keluarga polisi, harus membayar, meskipun pesawat tersebut diperuntukan keperluan militer dan pengungsi.

Karena disuruh membayar itu, Peter dan Inyo Rohi (putra Peter) tidak jadi pulang dan memilih balik ke Media Center. Tapi, saat tertidur lelap, Peter ditinggal para wartawan yang sebelumnya tinggal di sana. Esok siangnya, Peter dan Inyo memutuskan meninggalkan Media Center karena merasa tidak aman. Sebagian kawasan Dili saat itu suda dibakar milisi pro-otonomi. Ayah-anak ini berhasil ke kantor Solidamor (sebuah LSM yang menyokong kemerdekaan Timtim) dengan cara menyusuri pantai. Cara ini dilakukan untuk menghindari ditangkap milisi pro-otonomi (baca: pro indonesia). Peter akhirnya sampai di kantor Solidamor dengan selamat.

Di sana ia bergabung dengan sejumlah aktivis seperti Tri Agus, Yeni Rosa Damayanti dan Tosi, wartawan Radio Hilversum, Belanda. Tapi, mereka hanya bisa bertahan dua malam. Dengan mengendarai sebuah mobil Daihatsu Espass mereka mengungsi di kampung Alor, lalu pindah lagi ke gereja Hosana, di kawasan Villa Verde. Di tempat ini ada 40 orang, termasuk para pengungsi dan pendeta. Mereka akhirnya meninggalkan gereja setelah tempat tersebut dijarah dan juga akan dibakar. Dengan menumpang tiga mobil, Peter dan rombongannya sempat menginap 2 malam di sebuah desa di pantai, sebelum sampai di Laga, 40 Kilometer dari Baucau. Peter dan aktivis Solidamor baru bisa pulang ke Kupang dengan naik Hercules TNI AU setelah menyamar sebagai anggota tim gereja.

Selama dalam pengungsian, Peter tak bisa mengirimkan berita dan mengontak saudara serta sejawatnya. Padahal, keluarganya dan kawan sejawatnya menanti dengan cemas. Menurut Peter, saat Timtim bergolak, ia sulit mengirimkan berita. Berita yang ia tulis akhirnya dikirimkan lewat hand phone (HP) adalah saat ia berada di kampung Alor. Setelah itu, semua komunikasi terputus dan listrik padam. “Dili menjadi kota mati,” kata Peter. Malam setelah pengumuan jajak pendapat atau referendum dari Bandara Comoro saya sendiri menyaksikan langit Dili memerah dan terdengar suara ledakan di sana-sini.

Menurut Peter, malam itu sebuah operasi besar dimulai. Kota dihanguskan dan tokoh-tokoh pro-kemerdekaan dilenyapkan. Peter sendiri baru bisa melaporkan tragedi Timtim setelah ia berada di Jakarta.

Menjelang dan sesudah jajakan pendapat kemerdekaan rakyat Timtim (kini Timor Lester), kawasan ini adalah tempat paling berbahaya bagi wartawan. Setidaknya, seorang wartawan Kompas menjadi korban terjangan peluru dan dua wartawan meninggal dunia (salah satunya wartawan asing). Kondisi seperti ini juga menyulitkan wartawan untuk meliput, termasuk membuat liputan yang berimbang.

Untuk menghidari resiko tekanan dari dua belah pihak, wartawan cenderung membuat laporan yang tidak berimbang, dan cara ini bisa menyebarkan kabar bohong. “Dalam sejumlah pemberitaan, malah wartawan Antara dengan sengaja menyebarkan cerita bohong tentang seorang anggota milisi yang tubuhnya dibakar oleh pasukan Interfet,” ungkap Stanley, seorang jurnalis yang juga aktivis (Pers yang Gamang, Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur, LSPS, 2001).

Situasi konflik membuat sejumlah wartawan gamang dalam menjalankan tugasnya. Situasi seperti itu membuat wartawan berada dalam pilihan sulit. Secara umum, sebelum jajak pendapat, sebagian besar wartawan Indonesia bisa menulis secara berimbang. Tetapi setelah jajak pendapat, wartawan lebih banyak mengutip sumber-sumber resmi dari pemerintah. Ini bisa terjadi karena banyak wartawan yang meliput dari Kupang. Atau kalaupun mereka masih bertahan di Dili, hanya bisa melaporkan pandangan mata dengan dikawal aparat polisi atau militer.

Berbeda dengan wartawan yang memilih di Kupang atau tinggal di Dili tapi dalam pengawalan aparat, Peter memilih tinggal di daerah pusaran konflik. Tapi pilihannya itu bukan tanpa resiko, karena ia tidak bisa berada di luar dua kelompok kepentingan yang sedang bertikai. Kepada saya, Peter mengaku, dirinya berusaha independen tetapi bukan berarti harus membiarkan ketidakadilan. “Harian Suara Bangsa sejak awal memang mendukung perjuangan rakyat Timtim (untuk merdeka, pen)” kata Peter A. Rohi.

Dan baginya, tugas wartawan adalah untuk membela yang lemah. “Pihak yang lemah saat itu adalah rakyat Timor Timur yang menginginkan kemerdekaannya,” kata Peter. Sayang, harian Suara Bangsa hanya berumur pendek karena tidak kuat menanggung rugi. Saat ini, Peter lebih banyak tinggal di Surabaya karena koran yang akan ia dirikan masih terhambat oleh masalah pendanaan.

Peter A. Rohi dikaruniai lima orang anak. Satu di antaranya mengikuti jejak Peter menjadi fotografer sebuah harian di Jakarta. Dua anaknya yang lain, Jojo Rohi dan Inyo Rohi menjadi aktivis demokrasi di Surabaya. Jurnalis dan aktivis adalah dua pertalian yang mengalir dari darah Peter. ”Saya sendiri masih ingin membuat koran lagi yang didanai dari koperasi wartawan,” kata Peter kepada saya di sebuah rumah makan chinese food di kawasan Jalan Damawangsa, dua bulan silam.

Tapi di lain waktu, ia pernah mengatakan ingin kembali ke daerah asalnya untuk menjadi petani. Tapi sebagai sahabat, saya lebih menginginkan Peter tinggal di Surabaya dan dengan demikian ia bisa mencurahkan waktunya untuk merefleksikan apa yang telah dilaluinya kepada masyarakat.

Di dalam rumahnya, penuh dengan tumpukan buku dan sejumlah media cetak. Saya juga berharap, suatu ketika ada pihak yang bisa mendokumentasikan karya-karya Peter A. Rohi. Di luar laporan jurnalistik, Peter telah banyak menulis berbagai hal, seperti soal Timor Timur, demokrasi dan jurnalisme. “Banyak buku dan naskah saya yang dimakan rayap,” katanya.

Catatan:
Artikel ini dimuat di bulletin Media Watch 26 Oktober 2002 dengan judul Peter A. Rohi Wartawan Pengelana

Tinggalkan komentar